MindMap Gallery North Maluku Culture
North Maluku, an Indonesian province, boasts a rich and diverse cultural heritage that reflects the unique blend of history, traditions, and influences of its inhabitants. This mind map is a visual journey into the cultural tapestry of North Maluku, capturing the essence of its customs, arts, traditions, and local identity. It serves as a comprehensive guide for cultural enthusiasts, travelers, researchers, and anyone eager to delve into the vibrant heritage of North Maluku.
Edited at 2023-08-07 05:36:56Kebudayaan Maluku Utara
Manuskrip
Mushaf Al-Qur’an Milik Kesultanan Ternate
Mushaf Al-Qur'an milik kesultanan Ternate ini telah berumur 435 tahun dan dianggap sebagai mushaf tertua di Nusantara bahkan dikawasan Asia. Hal ini juga pernah dikuatkan oleh sebuah surat dari Yayasan Festival Istiqlal, Jakarta, kepada Sultan Ternate, yang menyatakan bahwa naskah tersebut merupakan mushaf tertua di Indonesia. Agaknya, keterangan ini kemudian dikutip oleh Yoesqi dalam laporan hasil penelitiannya yang menyebut bahwa Al-Qur'an tersebut sudah berumur 435 tahun, dan “merupakan mushaf terkuno di Indonesia” Al-Qur'an yang berada dalam Keraton Ternate ini, diduga ditulis pada masa Sultan Khairun Djamil (1536-1570). Khairun adalah salah satu sultan Ternate yang punya motivasi kuat untuk peneybaran agama Islam. Dugaan ini dikaitkan dengan mushaf duplikat yang tersimpan di Masjid Agung Kesultanan Ternate, ditulis oleh orang yang sama dan mungkin dalam kurun waktu yang sama. Mushaf Al-Qur'an milik kesultanan Ternate berukuran 31 x 20,5 x 10 cm. ukuran bidang teks agak kecil, sekitar 22 x 11 cm dengan menyisahkan ruang yang cukup lebar di sisi luar sebelah kanan-kiri teks untuk catatan qira’at dan lain-lain. Pada setiap halaman terdapat 13 baris per halaman. Naskah Al-Qur'an tersebut mengunakan kertas buatan Eropa. Al-Qur'an ini memiliki iluminasi yang indah dengan pola yang khas, dibagian awal dan akhir mushaf. Ilmunasinya dikerjakan dengan ketrampilan yang tinggi, dan tinta yang digunakan adalah tinta hitam dan merah. Teks Al-Qur'an ditulis dengan tinta hitam, sedangkan tinta warna merah digunakan untuk penulisan nama surah, tanda bulat diakhir ayat, tanda juz, tanda tajwid, serta hadis-hadis keutamaan membaca surah tertentu di awal setiap surah (Ali Akbar, 2010; 286-287). Secara umum kondisi mushaf Al-Qur'an mili kesultanan Ternate tidak begitu baik, karena pojok-pojok dan pinggir mushaf telah dimakan rayap. Jilitan sudah agak rusak, dan kulit kover depan sudah tidak ada (rusak). Selian mushaf Al-Qur'an tua, juga terdapat tiga mushaf Al-Qur'an lainnya yang tersimpan di “kamar puji” kesultanan Ternate berdampingan dengan mahkota sultan. Sementara dua mushaf Al-Qur'an lainnya berada di Masjid Sultan Ternate. Mushaf ini mereupakan “satu keluarga dekat” dengan empat mushaf lainnya sumber: https://discoverymalut.com/
Tradisi Lisan
Cerita Rakyat : Asal Mula "Ake To Lahi" (Air Permintaan)
Penulis: Faruk Abas Tahun: 2017 Asal: Maluku Utara Cerita tentang Asal Mula Ake To Lahi. Suatu malam, Raja Sadik, pemimpin kerajaan di Ternate bermimpi didatangi laki-laki tua yang mengatakan bahwa kerajaannya akan ditimpa bencana panjang. Mimpi tersebut menjadi nyata ketika Desa Buku Bandera yang berada di bawah kepemimpinannya mengalami kemarau panjang menyebabkan banyaknya gagal panen, tanaman mati, dan kekeringan. Raja Sadik menyamar menjadi pemburu dan mendatangi desa tersebut dan melihat keadaan yang sesungguhnya. Saat bermalam disana, Raja Sadik memimpikan laki-laki tua yang pernah datang di mimpinya. Laki-laki tua itu berkata bahwa Raja Sadik harus berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa lalu menancapkan sebatang bambu di dekat batu besar di bukit. Ketika Raja Sadik melakukannya, hujan turun dengan sangat deras. Waktu terus berlalu, tanah yang ditumbuhi bambu yang ditancapkan oleh Raja Sadik terus mengeluarkan air. Masyarakat setempat menyebutnya dengan ake lahi atau air permintaan. Kisah ini menggambarkan nilai-nilai luhur kepimpinan dari seorang raja bijaksana yang selalu memikirkan rakyatnya. sumber: https://labbineka.kemdikbud.go.id/
Dongeng : "Asal Muasal Kesultanan Maluku Utara"
Pada jaman dahulu hiduplah seorang pemuda tampan bernama Jafar Sidik. Ia tinggal seorang diri di desa Salero, Ternate. Di dalam hutan yang tak jauh dari desa Salero terdapat telaga yang berair amat jernih. Telaga Air Sentosa namanya. Jafar Sidik sering duduk sendirian di sebuah batu besar yang berada di pinggir telaga Air Sentosa, terutama ketika ia beristirahat setelah berburu atau mencari kayu bakar di hutan. Pada suatu sore Jafar Sidik kembali duduk di batu besar di pinggir telaga Air Sentosa itu. Langit di atas berwarna jingga yang amat indah ketika dipandang. Seperti tak puas-puasnya Jafar Sidik melihat keindahan langit ketika itu. Tiba-tiba pandangan Jafar Sidik tertuju pada setitik cahaya berwarna-warni. Tampak seperti pelangi. Kian jelas Jafar Sidik mengamati, kian jelaslah pelangi itu. Pelangi itu kian membesar dan memanjang. Ujung pelangi jatuh di atas permukaan telaga Air Sentosa. Jafar Sidik terperanjat saat melihat tujuh bidadari terbang di atas lengkungan pelangi. Ketujuh bidadari itu terbang menggunakan selendang yang serupa dengan tujuh warna pada pelangi. Masing-masing bidadari mengenakan pakaian berwarna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Jafar Sidik segera bersembunyi di balik batang pohon besar setelah tujuh bidadari itu hampir tiba di permukaan telaga. Ia ingin mengetahui apa yang akan dilakukan tujuh bidadari berwajah amat jelita itu. Tujuh bidadari itu lalu melepaskan selendang masing-masing dan meletakkannya di atas bebatuan yang tak jauh dari telaga. Mereka lantas mandi di kejernihan air telaga. Tujuh bidadari itu mandi sambil bercanda. Jafar Sidik terus mengamati. Tertariklah ia pada bidadari berselendang ungu. Ia ingin memperistrinya. Jafar Sidik lantas berjalan mengendap endap mendekati selendang-selendang itu diletakkan. Diambilnya selendang berwarna ungu dan disembunyikannya di balik bajunya. Ketika hari menjelang malam, tujuh bidadari itu berniat kembali ke Kahyangan. Si bidadari berselendang ungu yang merupakan adik paling bungsu tampak kebingungan karena tidak menemukan selendangnya. Enam kakaknya berusaha turut mencari, namun selendang itu tidak juga mereka temukan. Pelangi yang hampir pudar membuat enam kakak si bidadari bungsu harus segera kembali pulang ke Kahyangan. Mereka terpaksa meninggalkan si bidadari bungsu sendirian seraya berpesan, “Baik-baiklah engkau menjaga diri.” Si bidadari bungsu hanya bisa bersedih hati meratapi nasib malangnya. Air matanya bercucuran ketika melihat enam kakaknya terbang kembali ke Kahyangan. Ketika si bidadari bungsu tengah meratapi nasibnya, Jafar Sidik keluar dari persembunyiannya dan menghampiri. Sapanya, “Maaf adik, siapakah engkau ini? Mengapa pula engkau berada di telaga ini sendirian? Tidakkah engkau takut sendirian di tempat ini?” Si bidadari bungsu terkejut mendengar sapaan Jafar Sidik. Ditenangkannya kegugupannya sebelum menjawab sapaan Jafar Sadik, “Tuan, namaku Boki Nurfaesyah. Aku kehilangan selendang hingga tidak bisa pulang kembali ke Kahyangan.” Jafar Sidik lantas menyarankan sebaiknya bidadari bernama Boki Nurfaesyah untuk turut bersamanya. Boki Nurfaesyah bisa menerima saran Jafar Sidik, Ia mengikuti Jafar Sidik. Tidak berapa lama kemudian Jafar Sidik dan Boki Nurfaesyah menikah. Selama mereka tinggal serumah, Jafar Sidik menyembunyikan selendang Boki Nurfaesyah di bubungan rumahnya. Jafar Sidik juga berjanji kepada istrinya untuk tidak mencegah kepulangan istrinya ke Kahyangan jika selendangnya telah ditemukan. Waktu terus berjalan. Kehidupan keluarga Jafar Sidik terlihat rukun dan damai. Jafar Sidik juga telah dikaruniai empat anak lelaki. Jafar Sidik mendidik empat anaknya itu dengan balk. Ia membekali empat anak lelakinya itu dengan ajaran agama Islam. Jafar Sidik sangat berharap empat anak lelakinya itu akan tumbuh menjadi orang-orang yang baik kelakuannya dan kelak akan hidup dalam kebersamaan. Walaupun telah hidup berbahagia dengan suami dan empat anaknya, namun Boki Nurfaesyah tetap juga berniat kembali ke Kahyangan. Pada suatu hari ia melihat pelangi yang muncul indah di atas bubungan rumah. Ketika ia tengah mengamati pelangi, mendadak pandangannya terantuk pada sehelai kain berwarna ungu yang terselip di bubungan rumah. Betapa terperanjatnya ia ketika berhasil mengambil kain yang tak lain selendangnya itu. Betapa kecewanya ia pada suaminya. Selama itu suaminya telah berbohong padanya. Kekecewaan yang dirasakannya berubah menjadi kemarahan. Ia akan kembali ke Kahyangan tanpa lagi berpamitan dengan suaminya. Sebelum berangkat, Boki Nurfaesyah menghampiri empat anak lelakinya dan berpesan, “Hendaklah kalian senantiasa hidup rukun dan saling menolong. Saling sayang-menyayangilah kalian berempat karena kalian berasal dari orangtua yang sama. Senantiasa ingatlah kalian pada pesan ibu, taat dan patuhi perintah dan nasihat ayah kalian.” Boki Nurfaesyah lantas mengenakan selendangnya dan tubuhnya melayang, terbanglab ia kembali ke negeri Kahyangan. Empat anaknya hanya bisa menatap kepulangan ibu mereka itu dengan tangis sedih. Semakin jauh tubuh ibu mereka, semakin kerns tangisan em pat anak itu. Jafar Sidik terperanjat ketika pulang dari Iadang dan mendapati empat anak lelakinya menangis. “Apa yang terjadi?” tanyanya. “Mana ibu kalian?” Empat anak lelaki itu lantas menceritakan kejadian berkenaan dengan ibu mereka yang telah kembali ke Kahyangan. Jafar Sidik sangat sedih. Sungguh, ingin ia terus bersama dengan istri yang amat dicintainya itu untuk mengasuh dan merawat empat anak lelaki mereka. Namun, semua harapan dan keinginannya itu telah musnah, menguap bagai air embun terkena panasnya sinar sang matahari. Jafar Sidik sendirian mengasuh, merawat, dan mendidik empat anak lelakinya. Senantiasa di didiknya empat anaknya itu dengan ajaran agama Islam. Empat anak itu pun tumbuh membesar seiring berjalannya sang waktu. Keempatnya tumbuh menjadi pemuda-pemuda yang baik perangainya dan taat beragama. Ketika Maluku Utara terbagi menjadi empat wilayah kekuasaan, kesemua anak Jafar Sidik ditunjuk menjadi pemimpin-pemimpinnya. Anak sulung Jafar Sidik menjadi sultan di Bacan. Anak keduanya menjadi sultan di Jailolo. Anak ketiganya menjadi sultan di Tidore. Anak bungsu Jafar Sidik menjadi sultan di Ternate. Syahdan, para pemimpin Maluku di kemudian hari berasal dari empat anak lelaki Jafar Sidik itu. sumber : https://dongengceritarakyat.com/
Cerita Rakyat : "Terompah Sultan Gajadean" (Tobelo)
Gajadean turun dari kayangan. Ia ingin mengunjungi kakak perempuannya, yaitu permaisuri Sultan Jafar Nuh, raja di Pulau Ternate. Ya, permaisuri Sultan Jafar Nuh memang seorang dewi dari kahyangan, oleh karena itu kecantikannya tiada yang menandingi. “Adikku, terima kasih kau telah menengokku,” kata Permaisuri. “Tak masalah Kak, aku juga merindukanmu. Aku senang melihat Sultan menyayangi dan merawatmu dengan baik,” sahut Gajadean. “Tinggallah di sini selama yang kau mau. Suamiku tak keberatan, ia juga menyayangimu,” jawab Permaisuri. Hari demi hari berlalu. Gajadean senang tinggal di istana itu. Ia merasa, Sultan Jafar Nuh adalah sultan yang bijaksana. Dalam hati, Gajadean ingin menjadi pemimpin yang bijaksana seperti iparnya itu. Gayung bersambut, Sultan Jafar Nuh menawarkan Gajadean untuk tinggal di Bumi. “Bersediakah kau menjadi pemimpin atau sangaji di wilayah Tobelo? Aku lihat, kau berbakat untuk menjadi pemimpin. Jika kau bersedia, akan kusiapkan acara pengangkatanmu,” kata Sultan Jafar Nuh. Gajadean sangat senang, “Apa yang harus saya lakukan, Sultan?” Sultan Jafar Nuh tersenyum, “Kau cukup memimpin wilayah itu dengan adil dan bijaksana. Oh ya, ada satu hal yang menjadi kewajibanmu. Wilayah Tobelo harus memberikan upeti padaku seperti yang dilakukan wilayah-wilayah lainnya.” Gajadean pun dilantik sebagai pemimpin wilayah Tobelo. Namanya sekarang menjadi Sultan Gajadean. Sesuai dengan janjinya pada Sultan Jafar Nuh, ia memimpin wilayahnya dengan adil dan bijaksana. Ia menata wilayah Tobelo dengan saksama. Ia juga mengangkat beberapa pejabat untuk memimpin wilayah-wilayah kecil di Tobelo. Mereka disebut kapitan. Sultan Gajadean memiliki dua kapitan kepercayaan, yaitu Kapitan Metalomo dan Kapitan Malimadubo. Perlahan-lahan, Tobelo menjadi wilayah yang makmur. Hasil utamanya adalah kelapa, padi, dan tebu. Sultan Gajadean juga menyisihkan sebagian hasil panen untuk dijadikan upeti pada Sultan Jafar Nuh. Upeti itu dikirim ke Ternate setiap tahun. Sultan Jafar Nuh selalu menerimanya dengan suka cita. “Kepercayaanku pada adikmu tak sia-sia. Tobelo maju dengan pesat di bawah kepemimpinannya,” katanya pada sang Permaisuri. Tahun ini, seperti biasa Sultan Gajadean mengirimkan upeti ke Ternate. Setelah menyerahkan upeti itu, ia pun berpamitan untuk kembali ke Tobelo. “Terompahku, di mana terompahku?” tanya Sultan Gajadean kebingungan. Ia mencari terompah atau alas kakinya yang hilang. Permaisuri Sultan Jafar Nuh ikut bingung, “Terompah apa, Dik?” tanyanya. “Aku kemari memakai terompah terbaikku, Kak. Tadi aku melepasnya clan menggantinya dengan sandalku ini. Kemana terompahku itu, ya?” tanya Sultan Gajadean bingung. Semua pegawai kerajaan diperintahkan untuk melakukan pencarian, tapi tak seorang pun yang menemukan. Sultan Gajadean putus asa, ia pulang dengan hati kesal. Dalam hati, ia mencurigai Sultan Jafar Nuh, kakak iparnya, “Pasti ia mencuri terompahku. Terompah milikku dihiasi oleh batu permata, pasti ia iri melihatnya. Lihat saja pembalasanku nanti.” Sesampainya di Tolebo, ia menyusun rencana untuk membalas kelakuan kakak iparnya yang ia curigai telah mencuri terompahnya. Ia memerintahkan kedua kapitan kepercayaannya untuk mengumpulkan semua sampah yang paling menjijikkan di Tobelo. Ia meminta agar sampah-sampah itu dimasukkan ke dalam guci-guci yang biasa digunakan ketika mengirim upeti ke Ternate. Meskipun heran, kedua kapitan itu menuruti perintah Sultan Gajadean. Selama setahun, mereka mengumpulkan sampah dan menutupnya rapat-rapat di dalam guci-guci. Setahun telah berlalu. Sultan Gajadean kembali mengunjungi Ternate. Ia membawa guci-guci berisi sampah busuk yang telah dikumpulkannya selama setahun. Sultan Jafar Nuh menyambutnya dengan baik. Sedikitpun ia tak curiga kalau adik iparnya itu menaruh dendam padanya. Setelah berbasa-basi, Sultan Gajadean berpamitan pulang. Saat itulah Sultan Jafar Nuh membuka guci-guci itu. “Astaga, busuk sekali baunya. Apa gerangan yang ada di dalam guci itu?” teriak Sultan Jafar Nuh sambil menutup hidungnya. Perutnya langsung mual. Para pengawal segera memeriksa isi guci-guci tersebut, “Sampah yang sudah membusuk, Sultan,” jawab mereka. Sultan Jafar Nuh murka. Beliau tak bisa menerima penghinaan tersebut. Oleh karena itu ia menyuruh para prajurit terbaiknya untuk menyerang Tobelo dan menangkap Sultan Gajadean. Pasukan Ternate dengan mudah mengalahkan pasukan Tobelo, namun Sultan Gajadean berhasil melarikan diri entah kemana. Rakyat Tobelo tercerai-berai dan masuk ke hutan untuk menghindari serangan pasukan Ternate. Kedua putra Sultan Gajadean yang bernama Kobubu dan Mama Ua juga hidup dalam hutan. Keduanya dirawat oleh Kapitan Metalomo dan Kapitan Malimadubo. Setelah keadaan mulai aman, rakyat Tobelo kembali ke wilayahnya. Kapitan Metalomo dan Kapitan Malimadubo memerintah wilayah itu untuk sementara. Mereka terus mencari keberadaan Sultan Gajadean, tapi ia tidak ditemukan. Akhirnya, setelah berunding dan mendiskusikannya dengan rakyat, Kobubu pun diangkat menjadi sultan menggantikan ayahnya. sumber: https://dongengceritarakyat.com/
Dongeng : Jafar Sidik dan Bidadari (Ternate)
Jafar Sidik adalah seorang pemuda yang tinggal di desa Salero, Ternate. Pekerjaan sehari-harinya adalah mencari kayu bakar dan berburu. Tak jauh dari desa tersebut terdapat telaga yang berair amat jernih. Namanya adalah Telaga Air Sentosa. Saat senggang, ia sering duduk sendirian di suatu batu besar di pinggir telaga. Suatu sore, Jafar Sidik duduk di batu besar pinggir telaga. Tiba-tiba, ia melihat cahaya berwarna-warni seperti pelangi. Cahaya itu membesar dan memanjang. Tiba-tiba ia terperanjat karena melihat tujuh bidadari terbang di atas pelangi menuju telaga. Ketujuh bidadari itu terbang menggunakan selendang yang serupa dengan tujuh warna pelangi. Tujuh bidadari itu lalu melepaskan selendang masing-masing dan meletakkannya di atas bebatuan tak jauh dari telaga. Mereka lantas mandi di kejernihan air telaga. Saat itu, salah satu selendang bidadari tertiup angin. Selendang itu berwarna ungu. Selandang itu terbawa angin hingga masuk ke dalam tempat lumbung padi Jafar Sidik. Malamnya, ketujuh bidadari itu berniat kembali ke kahyangan. Namun bidadari berselendang ungu, bidadari paling bungsu, kebingungan mencari selendangnya. Enam kakaknya membantu mencari, namun tidak juga ketemu. Dengan terpaksa, mereka meninggalkan bidadari bungsu sendirian. Ketika si Bungsu meratapi nasibnya, Jafar Sidik datang dan menghiburnya. Rupanya, si Bungsu bernama Boki Nurfaesyah. Kemudian, ia mengajak si Bungsu ke rumahnya. Tidak berapa lama, mereka pun menikah. Waktu terus berjalan. Kehidupan keluarga Jafar Sidik terlihat rukun dan damai. Jafar Sidik dikaruniai empat anak lelaki. Jafar Sidik mendidik keempat anaknya dengan baik Suatu hari, Boki Nurfaesyah ke lumbung padi. Ia hendak menanak nasi. Saat itu, ia menemukan selendangnya. Ia pun bersuka cita. Ia sudah lama menahan rindu akan tempat tinggal dan keenam saudarinya. Sebelum pergi, ia berpamitan kepada anak-anaknya dan suaminya. Kemudian, ia mengenakan selendangnya. Tidak lama tubuhnya melayang. Ia terbang kembali ke kahyangan. Jafar Sidik dan keempat anaknya hanya bisa menatap kepulangan Boki Nurfaesyah dengan sedih. Kemudian, Jafar Sidik mengasuh dan mendidik keempat anak lelakinya sendirian. Seiring waktu, empat anak itu tumbuh menjadi pemuda-pemuda yang baik budi pekertinya. Ketika Maluku terbagi menjadi empat wilayah, semua anak Jafar Sidik ditunjuk menjadi pemimpin-pemimpinnya. Anak sulungnya menjadi sultan di Bacan. Anak kedua menjadi sultan di Jailolo. Anak ketiga menjadi sultan di Tidore. Dan, anak bungsu menjadi sultan di Ternate. sumber: https://dongengceritarakyat.com/
Legenda : "O Gohi"
Pada zaman dahulu, di Desa Marahai hidup satu keluarga. Mereka adalah sepasang suami isteri dengan seorang anak perempuan. Sang ayah bernama Daluku dan sang ibu bernama Haiti, sedangkan anak perempuan mereka bernama Bebeoto. Hari-hari mereka lalui dengan bahagia. Bebeoto sangat disayangi oleh ayah dan ibunya. Agaknya, kebahagiaan di keluarga ini tidak berlangsung lama. Pada waktu usia Bebeoto enam tahun, Daluku meninggal karena sakit keras. Maka hari-hari berikutnya dilalui Bebeoto hanya berdua dengan ibunya. Untuk menghidupi anaknya yang masih kecil, Haiti menanam tanaman di kebun dan memelihara ayam. Pada suatu saat, wabah penyakit ternak melanda Desa Marahai. Semua ayam yang dipelihara Bebeoto mati kerena diterjang wabah penyakit. Seekor ayam betina yang baru bertelur lima butir pun ikut mati. Keadaan itu membuat Bebeoto dan ibunya putus asa. Mereka hanya berdoa kepada Tuhan agar bencana wabah itu cepat berlalu. Dalam beberapa minggu si ibu masih bisa menjaga diri dan anaknya dengan memanen hasil kebun yang sebagian ditukar dengan ikan dari para nelayan. Namun, setelah beberapa minggu, Haiti kehabisan bahan makanan yang disimpan. Bahkan, bahan makanan di kebun juga habis. Yang ada di kebun hanyalah tanaman yang baruditanam dan baru bisa dipanen dalam waktu dua hingga empat bulan kemudian. Akhirnya, sang Ibu teringat bahwa dia masih mempunyai lima butir telur yang disimpan. Haiti memasak telur itu untuk anaknya. Sebutir sehari untuk dimakan. Pada hari kelima, telur pun tinggal sebutir. Telur terakhir itu direbus oleh Haiti. Karena takut cepat habis, Bebeoto menyarankan kepada ibunya agar telur jangan dimakan sekaligus, tetapi sedikit demi sedikit. “Meme, kalau kalu mo makang tolar, tara usa kase pica tapi ambe depe isi sadiki-sadiki dengan peneti supaya jang capat abis tape tolar," demikian kata Bebeoto. Namun, sang ibu langsung mengambil telur itu dan langsung mengupasnya. Tampaknya sang ibu tidak menganggap apa yang diusulkan oleh anaknya yang memang masih kecil. “Ah, kalu makan sadiki-sadiki. Ngana tara kanyang. Jadi, lebe bae makan satu kali saja," bentak sang ibu. Kata-kata ibunya tersebut tidak menyenangkan hati Bebeoto. Dia menangis dan merajuk, lalu pergi ke pantai. “Mama so kase abis tape tolar, lebar kita balari dari rumah,” keluh Bebeoto. Setibanya di pantai, Bebeoto langsung berjalan sampai batas air kering dengan air laut yang dalam. Kebetulan pada saat itu pasang surut yang kering sehingga Bebeoto dengan mudah bisa menemukan batu-batu besar dan karang-karang laut yang memiliki lubang besar. Bebeoto memandang sebuah batu besar yang memiliki lubang besar dengan wajah sedih. “Lebe bae kita masuk ke dalam batu itu, supaya tape mama tara bisa dapa deng ambe pe kita," kata Bebeoto dalam hati. Setelah beberapa saat berpikir, Bebeoto masuk ke dalam lubang. Ibunya hanya dapat melihat perbuatan Bebeoto dari kejauhan sebelum Bebeoto masuk ke dalam lubang batu. Dengan tergesa-gesa Haiti berlari menuju batu itu dengan harapan agar bisa mengeluarkan Bebeoto. Sementara itu, air laut mulai pasang naik (aer nae) dan memenuhi lubang batu yang dimasuki Bebeoto. Hal ini membuat ibunya semakin takut dan sedih. Ia berusaha mencari cara untuk mengeluarkan Bebeoto dari dalam lubang batu. Sambil memeluk batu itu, Haiti memanggil Bebeoto dengan nada sedih. “Bebeoto! Mama tau ngana ada! Mama harap ngana kaluar la torang pulang ke rumah. Nanti mama cari lagi ngana pe tolar la ngana bole makan beso,” pinta sang ibu dengan nada penuh kesedihan. “Kita tara mau kaluar," kata Bebeoto dalam lubang batu. “Tarada! Mama tara akan pukul pa ngana! Mama cuma harap nganan kaluar kong pulang," kata ibunya sedih. Demikianlah, berulang kali sang ibu memanggil Bebeoto. Namun, Bebeoto tidak mau keluar dari lubang batu. Ibunya hanya duduk di atas batu dan menangis tersedu-sedu. "Bagaimana eh, supaya Bebeoto bisa percaya pa kita la bisa kaluar dari dalam lubang batu?" tanya sang Ibu dalam hati. Pada saat berpikir si Ibu melihat sebuah kerang besar di sampingnya. Kerang ini bisa disebut Bia Kima. Bia Kima sedang membuka kulitnya dengan lebar. “Lebe bae kita kase foya pa Bebeoto," kata sang ibu dalam hati. “Bebeoto! Kalu ngana tara mau kaluar dari batu, lebe bae mama masuk dalam bia basar la mama mati suda!" teriak sang ibu. Secara pelan si Ibu menuju ke Bia Kima yang masih terbuka dan duduk di dalam Bia itu. Sementara itu, Bebeoto mulai sadar bahwa ibunya sangat menyanyanginya dan dia tidak mau kehilangan ibunya. Dia tidak mau bila ibunya sampai ditelan Bia Kima. Kalau sampai terjadi, berarti dia akan kehilangan orang tuanya. Untuk itu, Bebeoto keluar dari lubang batu, kemudian pergi mencari ibunya yang berada dalam mulut Bia Kima. Namun, belum sempat sang ibu keluar dari mulut Bia, Bia Kima itu menutup kulitnya yang membuat ibu terjepit. Akibatnya, ibu sulit keluar dari Bia Kima. Terdengar teriakan minta tolong dari dalam Bia Kima. Namun, apa daya, karena tubuh Bebeoto lebih kecil daripada Bia Kima, ia tak mampu menolong ibunya. "Mamaeee ... !!! Meme ... ! !! kaluar, karena kita so kaluar supaya torang pulang ke rumah!" pinta Bebeoto. Bebeoto hanya memandang Bia Kima. Semakin lama, air laut semakin naik sehingga Bia Kima pun hilang ditelan air laut. Akhimya, Bia Kima tidak terlihat lagi. Dari kejahuan Bebeoto hanya memandang dengan tangisan sedih, kemudian dia pulang ke rumah sendirian. Itulah akibatnya kalau tidak mendengarkan nasihat ibu, sekarang Bebeoto benar-benar kehilangan kedua orangtuanya. sumber : https://www.nusantara62.com/
Museum
Kota Ternate
Museum Rempah-Rempah Kota Ternate
Museum Memorial Kedaton Sultan Ternate
Kota Tidore Kepulauan
Museum Sonyine Malige
Cagar Budaya (Kota Ternate)
Jembatan Residen
Kategoori : Struktur Alamat : Jl. Pahlawan Revolusi sumber: https://referensi.data.kemdikbud.go.id/kebudayaan/cagarbudaya/276006/3
Bak Cagarara
Kategori : Bangunan Alamat : Jl. Cengkeh Afo
Benteng Orange
Kategori : Bangunan Alamat : Jl. Pahlawan Revolusi
Kalero (Pembakaran Kapur)
Kategori : Bangunan Alamat : Gamalama
Benteng Kastela (Nostra Senhora De Rasario)
Kategori : Bangunan Alamat : Jl. Batu Angus
Benteng Santo Pedro E.Paulo
Kategori : Bangunan Jl. Santo Pedro
Makam Sultan Babullah
Kategori : Situs Alamat : Foramadiahi
Benteng Kalamata
Kategori : Bangunan Alamat : Jalan Bastiong
Masjid Kesultanan Ternate
Kategori : Bangunan Alamat : Jl. Sultan Babullah
Benteng Tolocco (Santa Lucia)
Keraton Sultan Ternate
Gedung Ngara Lamo
Benteng Sentosa (Kota Naka)
benteng yang terletak di bagian belakang Keraton Ternate, Kelurahan Sao-sio, Ternate Utara,
Seni Pertunjukan
Bela Yai
Dendang Cobo Lala
Laka Baka
Musik Bambu Tada
Tari Denge-Denge
Tari Lala
Tari Legu Sahu
Tari Soya-Soya
Tari Togal
Tarian Tide-Tide
Yangere/Tali Dua Halmahera Utara
Yangere adalah alat musik tradisional yang berasal dari Kabupaten Halmahera Utara, provinsi Maluku Utara. Musik ini salah satu musik hasil dari adaptasi musik budaya dari benua Eropa, yakni bangsa Portugis, yang mulai terpengaruh pada masa penjajahan bangsa barat ke Indonesia. Pada umumnya, alat musik ini bisa dimainkan oleh semua komunitas atau kalangan di Halmahera, Maluku Utara.[1] Dan, dalam perkembangannya, musik ini biasanya dimainkan dalam acara tertentu saja, seperti acara hajatan, pernikahan, acara kampung dan acara keagamaan umat Kristen di Halmahera.[1] Tahun 2018 lalu, Yangere menjadi salah satu dari ratusan Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2018.